Jumat, 18 Desember 2015

KEMAJEMUKAN DI INDONESIA DARI PENDEKATAN KONSENSUS

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam keunikan sendiri dalam berkehidupan bermasyarakat. Keberagaman ini bisa kita sebutkan juga dengan kemajemukan. Kemajemukan di Indonesia terdiri dari bermacam – macam aspek yang berasal dari suatu kelompok maupun individu. Seperti perwatakan pada tiap individu yang memunculkan nilai - nilai yang membangun bangsa ini. Nilai – nilai inilah yang akan memunculkan suatu pandangan terhadap suatu hal yang bisa juga menimbulkan stereotip terhadap suatu nilai yang lain sehingga banyak kemajemukan di Indonesia.

Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal. Menurut J.S. Furnivall masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Kemajemukan masyarakat indonesia dilihat dari berbagai perspektif.

Kemajemukan masyarakat indonesia dapat dipahami melalui beberapa titik pandang, yaitu:

Dipandang secara horizontal, pemahaman ini didasarkan pada fakta yang menunjukkan adanya satuan-satuan yang keragamannya dicirikan oleh perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau tradisi dan perbedaan unsur-unsur kedaerahan lainnya. Artinya perbedaan tersebut tidak didasarkan kepada kualitas dari unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut. Contohnya adanya suku Bugis, suku Minang, suku Batak di Indonesia terdapat sangat banyak jumlah suku yang lainnya.
        Kemudian yang kedua dipandang secara vertikal, artinya perbedaan dari yang bersifat vertikal yaitu perbedaan dari unsur-unsur tersebut dapat didasarkan kepada kualitas atau kadarnya. Misalnya dari aspek ekonomi akan ditandai dengan adanya golongan atas, bawah dan golongan menengah strata kebangsawanan dan rakyat jelata. Dua titik pandang masyarakat ini merupakan masyarakat kasta yang masing-masing mempertahankan atau memelihara cara berfikir, berperasaan, dan bertindak golongannya, hasilnya adalah tidak adanya kebersamaan sebagai suatu masyarakat yang utuh atau organis. Suatu masyarakat disebut majemuk apabila masyarakat tersebut secara struktural memiliki subkebudayaan - subkebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar, serta oleh sering tumbuhnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya. Ada banyak macam – macam pendekatan dalam kehidupan sosial ini salah satunya adalah pendekatan struktural fungsional. Pendekatan ini mendapat kritikan dari David Lockwood. Anggapan dasar bahwa setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibrium, sehingga mengabaikan beberapa hal – hal sebagai berikut :

·       setiap faktor sosial mengandung konflik – konflik internal
·       Ada faktor eksternal yang memperngaruhi perubahan sosial
·       Suatu sistem sosial pasti mengalami konflik
·       Perubahan sosial tidak selalu berubah secara gradual

Pendekatan konflik dan pendekatan struktural fungsional yang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing alangkah baiknya jika mampu disintesakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Sejak zaman Hindia-Belanda struktur masyarakat Indonesia adalah majemuk (plural societies), yakni masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Hal ini terlihat dari tidak adanya kehendak bersama. Kemajemukan tersebut juga dapat dilihat dari adanya pembagian golongan (Pribumi, Eropa, dan Tionghoa) di Indonesia. Hal ini mengakibatkan adanya konflik di dalam masyarakat baik itu antara kaum modal dan buruh, kota dan desa, dll. Konsep kemajemukan di atas memang terjadi pada masa Hindia - Belanda, namun dengan mengikuti modifikasi konsep ini masih relevan untuk masa kini.

Faktor-faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia terjadi:

1.    Faktor geografis indonesia yang mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya suku-suku bangsa di Indonesia.
2.    Letak Indonesia di antara samudra Indonesia dan samudra pasifik sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.

3.    Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan nusantara ini.

Kemajemukan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat secara horizontal (suku, ras, dan agama) maupun vertikal (tingkat ekonomi, pendidikan, kepentingan, dll). Hal ini mengakibatkan adanya kesenjangan di semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
STRUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Kemajemukan yang terjadi di Indonesia telah membentuk dan menjadi dasar pengelompokan masyarakat Indonesia. Adanya pengelompokan sosial membentuk suatu kelompok kepentingan atas berbagai dasar yang disebur sebagai partai politik. Berikut ini beberapa partai politik di Indonesia masa Hindia-Belanda beserta latar belakangnya:
1.    Partai Nahdatul Ulama (NU)
Merupakan partai yang mempunyai pandangan anti modernisme islam. Partai ini beranggotakan masyarakat perdesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

2.    Partai Nasional Indonesia (PNI)
Partai nasionalis yang mempunyai ideologi marhaenisme dan partai ini memperoleh dukungan dari elit birokrasi (tradisional jawa yang berpendidikan).
3.    Partai Komunis Indonesia (PKI)
Sama halnya dengan PNI, PKI juga memperoleh dukungan yang kuat dari golongan islam non-santri di daerah jawa tengah dan jawa timur terutama dari daerah perdesaan.
4.    Partai Sosialis Indonesia (PSI)
Partai ini memperoleh dukungan dari golongan elit berpendidikan, namun partai ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat perdesaan. Oleh karena itu PSI memeperoleh dukungan terbesar dari luar jawa.
5.    Partai Katholik Indonesia dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
Partai yang berasaskan katholik dan kristen ini hanya mampu memasuki daerah-daerah yang belum terpengaruh agama islam, hindu, maupun budha. Contohnya: Maluku, Tapanuli, Sulawesi Utara, dan Nusa tenggara.
Melihat struktur yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa konflik antar partai politik di Indonesia pada masa silam merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosial kultural berdasarkan perbedaan suku, agama, daerah dan stratifikasi sosial.
Kemajemukan di Indonesia merupakan berkah tersendiri bagi bangsa ini, karena kemajemukan ini Indonesia mempunyai banyak keanekaragaman manusia yang menghasilkan nilai – nilai baik bagi kelompoknya maupun individu itu sendiri. Indonesia juga memiliki keindahan sendiri di tiap daerahnya yang dihasilkan oleh tangan – tangan tiap individunya yang berada di daerah tersebut. Syukurnya kita masih melekat adat atau kebiasaan baik seperti gotong royong sehingga ancaman yang akan datang bisa teratasi.
Daftar pustaka
·       Wahyu Febriyanto S. W  . “Sistem Sosial Budaya Indonesia”. (Online). (http://wahyufisipuns.blogspot.co.id/2014/02/sistem-sosial-budaya-indonesia.html, diakses 17 Desember 2015).

·       Agus Santosa. “Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia”. (Online). (https://agsasman3yk.wordpress.com/2011/04/06/struktur-majemuk-masyarakat-indonesia/, diakses 18 Desember 2015)

Jumat, 04 Desember 2015

Kemajemukan Masyarakat Indonesia Dari Segi Konflik

Indonesia masyarakat majemuk

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-mayarakat sukubangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional sebagai sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau nasion . model masyarakat majemuk yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial ini bermula dari Furnivall (1948) yang mengidentifikasikan masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Furnifall melihat masyarakat jajahan Hindia Belanda ini sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan bahasa, serta cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing.
Lebih lanjut dikatakan oleh Furnifall bahwa masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian atau segmen yang merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik, tetapi yang terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka ini merupakan sebuah masyarakat karena di persatuan secara paksa oleh pemerintahan nasional, yaitu pemerintah jajahan Hindia Belanda. Kekuasaan absolut berada ditangan sejumlah kecil golongan elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut dari masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut. Kepentingan penguasa jajahan tersebut adalah penguasaan atas sumber-sumber daya ekonomi dan alam serta pendistribusiannya.
Masyarakat majemuk pada umumnya mempunyai ciri yang menyolok dalam hal corak pemerintahannya, yaitu bercorak otoriter dan militeristik sebagaimana yang menjadi corak dari semua pemerintahan dimasyarakat jajahan. Coraknya yang otoriter dan militeristik ini juga terdapat dalam masyarakat-masyarakat majemuk yang bukan negara jajahan, sebelum dirombak oleh kekuatan reformasi, seperti Uni Soviet Rusia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini terutama berbentuk kekejaman dan kekerasan terhadap rakyat atau warga masyarakatnya sendiri. Kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri tersebut dilakukan dalam upaya menguasai secara absolut sumber-sumber daya ekonomi dan alam oleh penguasa dan oknum-oknum serta kroni-kroninya.
Masalah yang pada umumnya dihadapi oleh sebuah masyarakat majemuk, seperti Indonesia, adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah pussat dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat tersebut. Masyarakat-masyarakat sukubangsa telah ada sebelum adanya masyarakat majemuk yang dikuasai oleh sistem nasional. Masyarakat-masyarakat tersebut hidup di dan dari sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan alam dan fisik yang merupakan hak adat atau ulayat mereka. Permasalahan ini muncul pada rezim yang berkuasa itu berusaha untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan menggunakan acuan hukum nasional yang menapikan hukum adat atau hak ulayat warga masyarakat setempat.
Pada waktu rezim penguasa tersebut masih berkuasa tidak ada satupun warga masyarakat tersebut yang berani menentangnya, dan tidak juga kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang di eksploitasi hak ulayatnya tersebut berani menghalanginya. Tetapi, begitu rezim otoriter tersebut jatuh maka berbagai bentuk perambahan terhadap perussahaan-perusahaan dari oknum-oknum pemerintah pusat dan kroni-kroninya bermunculan sebagai kerusuhan-kerusuhan sosial dan konflik antar sukubangsa bermunculan. Pendapat umum yang mengatakan bahwa kebangkitan mereka yang semula tertekan oleh rezim otoriter dan militeristik tidaklah dapat disangkal. Tetapi pendapat para pakar yang ditahun-tahun 1999-2001 yang bermunculan ditelevisi yang mengatakan bahwa konflik antar sukubangsa disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial ekonomi antara kelompok sukubangsa pendatang yang makmur hidupnya dan kelompok sukubangsa setempat yang hidupnya melarat tidaklah benar.
Dimassa lampau masyarakat-masyarakat sukubangsa hidup dengan berpedoman pada kebudayaan masing-masing yang berlaku didalam wilayah masyarakat sukubangsa sendiri. Anggota-anggota dari setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti sukubangsa yang pada dasarnya bercorak homogen dengan masing-massing jatidiri sukubangsa dan jatidiri budayanya dalam batas-batas wilayahnya sendiri. Dikampung halamannya sendiri, masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan kebudayaannya masing-masing adalah yang dominan sebagai pedoman bagi kehidupan sehari-hari sebagaimana terwujud dalam pranata-pranata sosial mereka masing-masing. Dimasa lampau hanya dikota-kota atau kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perkotaan terdapat masyarakat campuran dari berbagai kelompok sukubangsa. Sedangkan pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa telah menjadi masyarakat-masyarakat yang heterogen, dimana anggota-anggota dari berbagai sukubangsa hidup secara berdampingan dalam komuniti-komuniti pedesaan dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Karena itu, pada masa sekarang, hubungan antara sukubangsa telah menjadi lebih intensif dari pada dimasa lampau.
Hal ini dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah berkenaan dengan kesukubangsaan serta batas-batas sukubangsa dan perbedaan-perbedaan budaya ekonomi antara para pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti masyarakat setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan agresif. Akibatnya adalah bahwa kebudayaan dari masyarakat sukubangsa setempat yang semula adalah dominan menjadi ditantang dengan agresifitas para pendatang, yang tantangan tersebut dapat dilihat sebagai tantangan atas kebudayaan sukubansga setempat. Ini terutama terwujud melalui hubungan antar pendatang dengan masyarakat setempat yang terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Permasalahan yang paling kritikal adalah tingkat agresifitas ekonomi para pendatang dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya dengan cara tidak mengindahkan berbagai aturan yang berlaku setempat. Karena angota-angota masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan para pendatang tersebut dilihat sebagai melanggar aturan-aturan adat yang berlaku.
Aturan-aturan yang mengatur hubungan antara tuan rumah dengan tamunya tersirat dalam pepatah yang berlaku dalam kehidupan semua masyarakat sukubangsa di Indonesia yang berbunyi “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Artinya para pendatang yang hidup dalam komuniti sukubangsa setempat supaya menghormati dan menjunjung adat dan tradisi budaya yang berlaku setempat dengan cara mengikuti aturan-aturan adat dan tradisi-tradisi budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Pepatah ini digunakan oleh warga masyarakat setempat untuk memantapkan posisi mereka dalam menghadapi agresifitas ekonomi dari para pendatang dengan cara menekankan bahwa posisi mereka adalah tuan rumah yang berhak atas segala sesuatu dalam rumahnya sedangkan para pendatang hanya tamu yang harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam rumah tersebut. Dengan mengacu pada pepatah ini, secara halus dan tidak langsung, para pendatang diperingatkan untuk tidak mendominasi kehidupan mereka yang menjadi tuan rumah. Konflik-konflik antar sukubangsa yang telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai pelanggaran dari prinsip yang ada dalam pepatah tersebut.
A.   Latar belakang
     Konflik sampit adalah pecahnya kerusuhan antara dua etnis di Indonesia, konflik ini terjadi pada Februari 2001 dan terjadi sepanjang tahun itu. Perang sampit ini terjadi antara etnis Dayak sebagai penduduk lokal dan Madura sebagai pendatang. Kerusuhan sampit ini pecah pada 18 Februari 2001 dan sekitar 500 orang Madura tewas.10.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Suku Madura pertama tinggal di Kalimantan pada tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Sebenarnya dalam kasus ini terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Dimana pendatang disana menguasai perekonomian, perindustrian, perkayuan dan perindustrian. Suku Dayak kerap kali mengalah kepada suku pendatang. Mereka juga sangat terdesak di tanahnya sendiri. Hingga kampung mereka pun berkali-kali berpindah karena mengalah dari para penebang kayu(suku Madura) yang terus mendesak mereka masuk ke dalam hutan. Suku Dayak juga sering mendapatkan ketidakadilan dalam hukum bilamana suku Dayak yang menjadi korban.

    
B.   Awal mula kejadian
Kerusuhan yang terjadi di sampit hanyalah salah satu rangkaian peristiwa kerusuhan yang terjadi oleh suku Madura yang sejak berdirinya Kalimantan Tengah telah melakukan lebih dari 13 kali kerusuhan besar dan banyak sekali kerusuhan tersebut yang mengakibatkan korban dari pihak Dayak. Sangat banyak kasus-kasus yang telah memicu pertikaian antara kedua suku ini,yaitu :
1.      Pada tahun 1972, seorang gadis Dayak diperkosa. Kasus tersebut hanya diselesaikan dengan hukum adat.
2.      Tahun 1982 terjadi pembunuhan seorang Dayak oleh suku Madura, pelaku tidak tertangkap karena kemungkinan pembunuh kembali ke pulau Madura.
3.      Tahun 1983, pengeroyokan satu orang dayak oleh tiga puluh orang Madura, diadakan perdamaian antara kepala suku Dayak dan Madura.
4.      Tahun 1996, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan dibunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya ringan.
5.      Tahun 1997, di desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40,dengan skor orang Madura mati semua. Padahal orang Dayak pada saat itu hanya ingin mempertahankan diri dari orang Madura yang jumlahnya sangat banyak. Kasus ini ditutup dengan hukuman berat bagi orang Dayak.
6.      Tahun 1997, anak laki-laki suku Dayak yang bernama Waldi tewas dibunuh oleh orang Madura yang berjualan sate di daerah itu. Waldi tewas secara mengenaskan dengan lebih dari tiga puluh tusukan di badannya.
7.      Tahun 1998, terjadi lagi pengeroyokan orang Dayak oleh 4 orang Madura. Orang Dayak itu tewas. Kasus ini tidak terselesaikan karena pengeroyok tidak dapat ditemukan karena kemungkinan telah kembali ke asalnya.
8.      Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
9.      Tahun 1999, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
10.  Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
11.  Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
12.  Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
13.  Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
14.  Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
15.  Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
16.  Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

C.   Terjadinya perang
     Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum. Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura.  Orang Dayak merasa sangat tersudut ditanahnya sendiri. Mereka seolah tidak dilindungi dari pihak hukum. Sementara orang Madura semakin merasa diatas angin di kota Sampit. Seakan mereka tidak peduli akan perasaan warga lokal disana. Situsi semakin hari semakin panas. Orang Madura mempunyai keinginan untuk menjadikan kota Sampit sebagai kota Sampang ke-2. Mereka melupakan pepatah di tanah Borneo tersebut yaitu, ''dimana tanah dipijak,disitu langit dijunjung''. Pada tanggal 18 februari 2002 di sebuah pasar di kota Sampit,seorang ibu yang sedang hamil dibunuh dengan kejam. Perutnya dibelah dan janin dalam perut ibu tersebut dikeluarkan lalu dibuang. Darah dari seorang ibu dan janinnya tadi dijadikan tinta untuk menulis di sebuah spanduk besar yang bertuliskan, ''Sampit sebagai Sampang kedua''. Kejadian ini memang sepertinya telah direncanakan oleh pihak Madura.Mereka juga berkeliling kota Sampit sambil meneriakkan ''Matilah kau Dayak''.  Bom molotof pun berjatuhan di rumah-rumah orang Dayak. Tidak sedikit juga mereka membakar rumah orang Dayak. Orang Dayak menjadi takut dan mereka berlari masuk ke dalam hutan. Kepala suku mereka telah sangat murka dan memberi ultimatum kepada orang bahwa apabila dalam 3 hari mereka tidak keluar dari Sampit, maka Dayak akan memerangi warga Madura. Sudah sangat banyak pengungsi dari pihak Madura dan Dayak. Lebih dari 10.000 pengungsi telah diungsikan ke Surabaya dan ke Palangkaraya. Ultimatum tadipun tidak dihiraukan oleh warga Madura sehingga terjadilah perang etnis disana. Suku Dayak berhasil mengambil kembali rumahnya yang hampir diambil oleh suku lain.Banyak rumah yang terbakar, toko-toko milik kedua etnis tadi lenyap serta kurang lebih 500 korban tewas. Tidak ada yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam kata lain perang hanya meninggalkan tangis dan air mata, dan juga kenangan yang sangat menyakitkan.

Sumber:
http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/05/perang-sampit_2.html


Jumat, 06 November 2015

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA

Kata Pengantar
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena saya dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Selain itu, penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai manusia sebagai makhluk berbudaya dan beradab. 
Akhirnya saya menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat untuk saya dan untuk pembaca.
                                                                                                                                                           
                                                                           Jakarta, 06 November 2015  


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI  .......................................................................................... ii
BAB I   PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1         Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2         Rumusan Masalah ..................................................................... 1
1.3         Tujuan ....................................................................................... 1
BAB 2   PEMBAHASAN ........................................................................2
2.1         Hakekat Manusia dan Budaya....................................................2
2.2         Manusia Sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan............ 5
2.3         Substansi (isi) Utama Budaya .................................................. 6
2.4         Manusia Sebagai Makhluk Budaya ......................................... 7
2.5         Nilai-nilai Kebudayaan ............................................................ 8
2.6         Problematika Kebudayaan ...................................................... 12
BAB 3   PENUTUP............................................................................... 14
3.1         Kesimpulan ............................................................................. 14
3.2         Saran ....................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA  .......................................................................... 15


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Dengan berbudaya, manusia dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan hidupnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia menjalani hidup sesuai dengan adab-adab yang diterapkan di lingkungan sekitar. Oleh karenanya, manusia harus bersosialisasi dan memenuhi adab-adab yang telah disosialisasikan oleh orang-orang sebelumnya. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan peradaban, terjadilah evolusi budaya yang menyebabkan beberapa problematika yang harus kita kaji dan pikirkan bersama solusinya. 

1.2     Rumusan Masalah
1.   Apa hakekat manusia dan budaya?
2.   Bagaimana hubungan manusia dan kebudayaan?
3.   Adakah problematika dalam konteks hidup manusia sebagai makhluk berbudaya dan    
      beradab?
1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan pembelajaran agar kita mampu memahami konsep-konsep dasar tentang konsep manusia sebagai makhluk budaya, serta pemahaman konsep tersebut dijadikan dasar pengetahuan dalam mempertimbangkan dan menyikapi berbagai problematika budaya yang berkembang dalam masyarakat.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1      Hakekat Manusia dan Budaya
 Sebelum kami memaparkan hubungan antara manusia dan budaya terlebih dahulu akan di paparkan pengertian atau defenisi dari manusia dan budaya itu sendiri.
a.        Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan. Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri
b.        Pengertian Budaya
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Budaya mempunyai tiga unsur yang berada dalam diri manusia dan saling melengkapi satu sama lain dalam satu kesatuan kebudayaan seutuhnya. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.
a.      Cipta, adalah akal pikiran yang di milik oleh manusia, sehingga dengan akal pikiran tersebut manusia dapat berkreasi menuangkan segala ide yang non kebendaan. Namun cipta yang ada dalam diri manusia bersifat tidak universal dalam hal karya. Artinya dalam hal keterampilan berkarya manusia tentu saja memiliki keahlian yang berbeda-beda satu sama lain, seseorang yang terampil mengelola kayu menjadi barang-barang meubel belum tentu terampil dalam hal olah vocal, begitupun seorang penyanyi yang mahir melantunkan lagu-lagu belum tentu dalam hal merancang busana dan sebagainya.
b.      Rasa, adalah tanggapan atau reaksi perasaan ketiak melihat ataupun mendengar sesuatu satu bentuk karya, tanggapan ini dapat berupa kepuasan, keterangan, kekaguman, kesedihan, ketidakpuasan dan sebagainya. Selain di bekali kekuatan menciptakan manusia juga di lengkapi dengan perasaan hingga hasil karya yang dibuatnya dapat bernilai seni tinggi. Dengan adanya rasa yang di miliki oleh manusia maka sudah tentu ia dapat membedakan mutu suatu karya cipta satu dengan yang lain.
c.       Karsa, adalah kehendak, dorongan atau motivasi yang lahir dari hasrat seseorang. Seseorang yang memiliki keterampilan luar bisa dan perasaan yang begitu peka tidak akan berbuah apa-apa jika tidak didasari keinginan dari orang tersebut. Karsa biasa saja berasal dari diri, tersendiri atau bahkan dari orang lain yaitu berupa rangsangan atau pengaruh yang diterima oleh daya nalar kita.
Ketiga unsur inilah yang mendasari manusia berbudaya, dengan adanya unsur-unsur tersebut dalam diri manusia maka dapat di katakan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa memiliki kebudayaan. Antara manusia dan masyarakat serta kebudayaan ada hubungan erat. Tanpa masyarakat, manusia dan kebudayaan tidak mungkin berkembang layak. Tanpa manusia tidak mungkin ada kebudayaan, tanpa manusia tidak mungkin ada masyarakat. Dalam diri manusia wujud kebudayaan ada yang rohani misalnya adat istiadat dan ilmu pengetahuan. Ada yang jasmani misalnya rumah dan pakaian. Buku adalah kebudayaan jasmani, akan tetapi isi buku adalah kebudayaan rohani. Ilmu pengetahuan merupakan unsur kebudayaan universal yang rohani.
Sebagai insan yang berkebudayaan maka sepatutnya manusia menjaga citra di muka bumi ini bahkan budaya telah menjadikan manusia sebagai makhluk beradab sekaligus telah mengantar manusia ke kasta tertinggi makhluk-makhluk  penghuni bumi yang lain yaitu sebagai yang paling sempurna di bandingkan dengan yang lainnya.
Akan tetapi manusia sebagai makhluk budaya, budaya bukan berarti bahwa manusia dibebaskan untuk berkarya apapun itu tanpa menilainya dari segi norma maupun hukum. Budaya yang seperti ini adalah kebudayaan yang bersifat merusak dan sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara. Untuk itu diperlukan kesadaran manusia sebagai makhluk budaya agar dalam berbudaya memang teguh norma-norma yang berlaku agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Budaya bahkan dapat menambah rasa rasionalisme seseorang warga negara Indonesia misalnya, memiliki kebudayaan yang amat sangat beraneka ragam bentuk dan ciri khasnya yang tidak semua bangsa memilikinya. Hal ini tentu saja merupakan kebanggaan tersendiri bangsa Indonesia yang akhirnya berimbas pada tingginya nasionalisme para warga negara.
Berikut pengertian budaya adalah kebudayaan dari beberapa ahli:
a.          E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat
b.         R. Linton, Kebudayaan dapat sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diterapkan oleh anggota masyarakat lainnya.
c.          Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
d.         Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
e.          Herkovitas, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.   
Dengan demikian, kebudayaan menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non material. Sebagian besar ahli mengatakan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.
      
2.2      Manusia Sebagai Pencipta dan Pengguna Kebudayaan
Tercipta adalah terwujudnya suatu  kebudayaan  sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal dan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi dan diberikan kemampuan yang disebutkan oleh Supartono (dalam Rafael Raga Maran, 1999:36) sebagai daya manusia, manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensi dan intuisi perasaan dan emosi kemauan, fantasi dan perilaku.
Dengan sumber-sumber kemampuan daya manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia menciptakan kebudayaan ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena ada manusia penciptanya dan manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang sebagai pendukungnya. Dialektika ini didasarkan pada pendapat Peter dan Berger yang menyebutkan sebagai dialektika fundamental. Dialektika fundamental ini terdiri dari tiga tahap; tahap eksternalisasi, tahap objektivasi, dan tahap internalisasi.
Tahap eksternalisasi adalah proses pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mental. Tahap objektivasi adalah tahap aktivitas manusia menghasilkan suatu realita objektif, yang berada di luar diri manusia
Tahap internalisasi adalah tahap dimana realitas objektif hasil ciptaan manusia diserap oleh manusia kembali, jadi adanya hubungan berkelanjutan antara realitas internal dengan realitas eksternal.
Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia, bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu baik. Kecuali manusia yang memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun material. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya sehingga kebudayaan memiliki peran sebagai berikut:
a.      Suatu hubungan pedoman antara manusia atau kelompoknya
b.      Wadah untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan kemampuan-kemampuan lain
c.       Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
d.     Pembeda manusia dengan binatang
e.      Sebagai modal dasar pembangunan
Manusia merupakan makhluk berbudaya, melalui akalnya manusia dapat mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaannya.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat, berbagai macam kekuatan harus dihadapi manusia dan masyarakat seperti kekuatan alam dan kekuatan lain. Selain itu manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik secara spritual maupun materil.
2.3      Substansi (isi) Utama Budaya
Substansi  (isi) utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk atau berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan.
a.       Sistem Pengetahuan  
Sistem pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, merupakan suatu                                               akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami:
  Alam sekitar
  Alam flora di daerah tempat tinggal
  Alan fauna di daerah tempat tinggal
  Zat-zat bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya
  Tubuh manusia
  Sifat dan tingkah laku sesama manusia
  Ruang dan waktu
b.         Nilai
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Keputusan nilai dapat menentukan sesuatu berguna atau tidak berguna, benar atau salah, baik atau buruk, religius atau sekuler, sehubungan dengan cipta, rasa dan karsa manusia.Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral atau etis), religius (nilai agama). Prof. Dr. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga bagian yaitu:
- Nilai material, yaitu segala sesuatu (materi) yang berguna bagi manusia.
- Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan  kegiatan dan aktivitas
- Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang bisa berguna bagi rohani manusia.
c.  Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah suatu nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dan dipilih secara selektif oleh individu, kelompok atau suatu bangsa. Pandangan hidup suatu bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
2.4       Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa manusia sebagai makhluk yang paling sempurna bila dibanding dengan makhluk lainnya menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa dan arsitektur merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan. Untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus memiliki ilmu pengetahuan, tekhnologi, budaya dan industrialisasi serta akhlak yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling bersinergi.
Hommes mengemukakan bahwa, informasi IPTEK yang bersumber dari sesuatu masyarakat lain tak dapat lepas dari landasan budaya masyarakat yang membentuk informasi tersebut. Karenanya di tiap informasi IPTEK selalu terkandung isyarat-isyarat budaya masyarakat asalnya. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa, karena perbedaan-perbedaan tata nilai budaya dari masyarakat pengguna dan masyarakat asal teknologinya, isyarat-isyarat tersebut dapat diartikan lain oleh masyarakat penerimanya.
Disinilah peran manusia sebagai makhluk yang diberi kelebihan dalam segala hal, untuk dapat memanfaatkan segala fasilitas yang disediakan oleh Allah SWT melalui alam ini. Sehingga dengan alam tersebut manusia dapat membentuk suatu kebudayaan yang bermartabat dan bernilai tinggi. Namun perlu digaris bawahi bahwa setiap kebudayaan akan bernilai tatkala manusia sebagai masyarakat mampu melaksanakan norma-norma yang ada sesuai dengan tata aturan agama. JJ. Hoeningman membagi kebudayaan dalam 3 wujud :
1      Gagasan : Kebudayaan yang berbentuk kumpulan, ide, gagasan,nilai,norma, peraturan yang sifatnya abstrak.
2      Aktivitas (tindakan) :  Wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat., sering disebut sebagai system sosial, yaitu aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu.sifatnya konkret dapat diamati.
3      Artefak ( karya) : Wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda yang dapat diraba dan dilihat.
2.5       Nilai-Nilai Kebudayaan
              Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
a.      Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘ethos’ yang berarti adat kebiasaan atau akhlak yang baik. Etika adalah ilmu tentang kebiasaan perilaku yang baik . Kebudayaan merupakan induk dari berbagai macam pranata yang dimiliki manusia dalam hidup bermasyarakat. Etika merupakan bagian dari kompleksitas unsur-unsur kebudayaan. Ukuran etis dan tidak etis merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan. Manusia membutuhkan kebudayaan, yang didalamnya terdapat unsur etika, untuk bisa menjaga kelangsungan hidup. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang menjaga tata aturan hidup.
Etika dapat diciptakan, tetapi masyarakat yang beretika dan berbudaya hanya dapat diciptakan dengan beberapa persyaratan dasar, yang membutuhkan dukungan-dukungan, seperti dukungan politik, kebijakan, kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan, serta pelaksanaan secara konsekuen. Selain itu dibutuhkan pula ruang akomodasi, baik lokal maupun nasional di mana etika diterapkan, pengawasan, pengamatan, dan adanya pihak-pihak yang memelihara kehidupan etika. Kesadaran etis bisa tumbuh karena disertai akomodasi.
Etika (kesusilaaan) lahir karena kesadaraan akan adannya naluri-solidaritas sejenis pada makhluk hidup untuk melestarikan kehidupannya,kemudian pada manusia etika ini menjadi kesadaran sosial ,memberi rasa tanggungjawab dan bila terpenuhi akan menjelma menjadi rasa bahagia.(A.A Djelantik,Estetika Sebuah Pengantar.hal-4).
Pada manusia yang bermasyarakat etika ini berfungsi untuk mempertahankan kehidupan kelompok dan individu.Pada awalnya Etika dikenal pada sekelompok manusia yang sudah memiliki peradaban lebih tinggi.Terdapat proses indrawi yang diperoleh secara visual dan akustik(instrumental).
Keduanya (proses indrawivisual dan akustik) mengambil peran tambahan melakukan fungsi-fungsi yang jauh lebih tinggi,bukan hanya melakukan fungsi vital , tetapi telah melibatkan proses-proses yang terjadi dalam budi dan intelektualitas dan lebih bertujuan untuk memberi pengetahuan dan kebahagiaan jasmani dan ruhani. .(A.A Djelantik,Estetika Sebuah Pengantar.hal-3).
b.      Estetika
Estetika adalah ilmu yang menelaah dan membahas aspek-aspek keindahan sesuatu, yaitu mengenai rasa, sifat, norma, cara menanggapi, dan cara membandingkannya dengan menggunakan penilaian perasaan.
Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 – 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999) Baumgarten menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.
Berbudaya, selain didasarkan pada etika juga terkandung estetika di dalamnya. Jika etika menyangkut analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab, estetika membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya .
Manfaat nilai etika dan estetika kebudayaan bagi kehidupan masyarakat adalah menyadari bahwa mempertahankan dan menyelamatkan kebudayaan suatu daerah atau bangsa harus diletakkan di paling awal . Dan menjadikan nilai kebudayaan sebagai acuan untuk menempuh kehidupan masa depan masyarakat, dengan terus melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi pada berbagai dinamika zaman. Masyarakat harus bisa menyaring kebudayaan baru dengan tetap memprioritaskan kebudayaan asal mereka jangan samapai kebudayaan kita hilang hanya dikarenakan adanya budaya baru yang kita anggap lebih maju di banding budaya kita sendiri dan agar menjadi masyarakat yang berbudaya.
c.       Moral
Moral adalah kebiasaan berbuat baik. Orang dikatakan bermoral apabila dapat mewujudkan kodratnya untuk berbuat baik, jujur, dan adil dalam tindakannya.
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya etnik lokal. Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya. Sistem ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal.
Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional bersifat prospektif, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.
Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistem budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, seperti dalam bahasa, seni, tata masyarakat, dan teknologi, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya.
Kebudayaan di Indonesia sangat beragam karena memiliki banyak perbedaan antar manusia yang berada di tanah inonesia, namun Indonesia mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika yang diartikan walaupun berbeda – beda tetapi tetap satu . pada setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda – beda pula, itulah yang membedakan aturan – aturan di tiap daerah . seperti suku asmat di papua dengan pakaian khas bagi kaum laki laki yang menggunakan koteka dan bahkan penduduknya  ada juga yang tidak memakai busana, tetapi hal itu tidak di langgar karena sudah menjadi tradisi disana . apabila hal seperti itu ada di daerah Jakarta sudah dapat dipastikan sudah melanggar  aturan hukum yang berlaku . Seperti itulah mengapa peraturan di setiap daerah di Indonesia cukup beragam . budaya di Indonesia sangat kuat karena adanya budaya yang turun – temurun dari nenek moyang hingga sekarang. dan masih banyak acara adat di berbagai daerah untuk melestarikan budayanya masing – masing daerah.
Perilaku manusia berbudaya adalah perilaku yang dijalankan sesuai dengan moral, norma-norma yang berlaku dimasyarakat, sesuai dengan perintah di setiap agama yang diyakini, Dan sesuai dengan hukum Negara yang berlaku. Dalam berperilaku, manusia yang berbudaya tidak menjalankan sikap-sikap atau tindakan yang menyinpang dari peraturan-peraturan baik berupa norma- norma yang ada di masyarakat maupun hokum yang berlaku.
Oleh karena itu sifat manusia yang berbudaya itu yang harus dimiliki setiap manusia khususnya bangsa Indonesia yang dikenali sebagai Negara yang besar dengan banyaknya budaya yang dimiliki. Jadilah manusia yang memiliki budaya yang tinggi yang menjadikan manusia tersebut sebagai manusia yang berbudaya dan tentu manusia yang berbudaya itu pasti juga manusia yang berpendidikan, akan tetapi sebaliknya manusia yang berpendidikan itu belum tentu dia manusia yang berbudaya. Banyak contoh di negara ini manusia yang pintar atau berpendidikan yang melakukan banyak tindak kejahatan atau menyimpang contohnya seperti korupsi. Itu semua terjadi karena mereka tidak menjadi manusia yang berbudaya Dan akibatnya mereka tidak memiliki moral, kejujuran, Dan rasa tanggung jawab. 
Karena itu jadilah manusia yang berbudaya. Dengan menjadi manusia yang berbudaya maka masyarakat akan memiliki sikap yang berakal budi, bermoral, sopan dan santun dalam menjalani kehidupan diri sendiri ataupun berbangsa dan bernegara. Sikap Dan sifat manusia yang berbudaya itu juga yang akan menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang besar yang memiliki jati diri sendiri sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat.
2.6              Problematika Kebudayaan
Kebudayaan mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan, dan adanya budaya dari luar yang teradang kita langsung menerima dan menerapkan pada diri dan kehidupan kita tanpa berfikir panjang dengan resiko efek ke kebudayan kita sendiri. Ini lah beberapa contoh problematika kebudayaan:
1.      Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
Dalam hal ini, kebudayaan tidak dapat bergerak atau berubah karena adanya pandangan hidup dan sistem kepercayaan yang sangat kental, karena kuatnya kepercayaan sekelompok orang dengan kebudayaannya mengakibatkan mereka tertutup pada dunia luar dan tidak mau menerima pemikiran-pemikiran dari luar walaupun pemikiran yang baru ini lebih baik daripada pemikiran mereka. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa orang jawa tidak mau meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidup sebagai petani. Padahal hidup mereka umumnya miskin.
2.      Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi atau sudut pandang.
Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi dan sudut pandang ini dapat terjadi antara masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai contoh dapat kita lihat banyak masyarakat yang tidak setuju dengan program KB yang dicanangkan pemerintah yang salah satu tujuannya untuk mengatasi kemiskinan dan kepadatan penduduk, karena masyarakat beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.
3.      Hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.
Upaya untuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang terkena bencana alam sering mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran penduduk bahwa ditempat yang baru hidup mereka akan lebih sengsara dibandingkan dengan hidup mereka ditempat yang lama.
4.      Masyarakat yang terasing dan kurang komunikasi dengan masyarakat luar.
Masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat luar cendrung memiliki ilmu pengetahuan yang terbatas, mereka seolah-olah tertutup untuk menerima program-program pembangunan.
5.      Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru.
Sikap ini sangat mengagung-agungkan budaya tradisional sedemikian rupa sehingga menganggap hal-hal baru itu akan merusak tatanan hidup mereka yang sudah mereka miliki secara turun-temurun.
6.      Sikap etnosentrisme.
Sikap etnosentris adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsa sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain. Sikap seperti ini akan memicu timbulnya pertentangan-pertentangan suku, ras, agama, dan antar golongan. Kebudayaan yang beraneka ragam yang berkembang disuatu wilayah seperti Indonesia terkadang menimbulkan sikap etnosentris yang dapat menimbulkan perpecahan.

BAB 3
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka kami dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu:
     Manusia adalah mahluk berbudaya. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya. Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan yaitu manusia yang telah dilengkapi       Tuhan dengan akal  dan pikirannya menjadikan Khalifah di muka bumi dan diberikan kemampuan. Manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, intelegensi, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi, dan perilaku. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dan seiring dinamika pergaulan manusia sebagai makhluk budaya tentunya akan menimbulkan berbagai problema dalam kehidupan manusia
3.2      Saran
Makalah ini berisi materi dari kajian pustaka yang bertujuan untuk menambah wawasan dan sebagai acuan dalam pembelajaran. Namun, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan sebagai mana manusia yang tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, 2006. Manusia sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial. Kencana. Jakarta
Mustofa Ahmad, 1999. Ilmu Budaya Dasar. CV. Pustaka Setia. Bandung
Yus