Jumat, 04 Desember 2015

Kemajemukan Masyarakat Indonesia Dari Segi Konflik

Indonesia masyarakat majemuk

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-mayarakat sukubangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional sebagai sebuah masyarakat negara dan sebagai bangsa atau nasion . model masyarakat majemuk yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial ini bermula dari Furnivall (1948) yang mengidentifikasikan masyarakat jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah masyarakat majemuk. Furnifall melihat masyarakat jajahan Hindia Belanda ini sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tetapi tidak menjadi satu. Masing-masing kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan bahasa, serta cita-cita dan cara-cara hidup mereka masing-masing.
Lebih lanjut dikatakan oleh Furnifall bahwa masyarakat seperti ini terdiri atas bagian-bagian atau segmen yang merupakan komuniti-komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik, tetapi yang terpisah atau tidak merupakan sebuah kesatuan. Mereka ini merupakan sebuah masyarakat karena di persatuan secara paksa oleh pemerintahan nasional, yaitu pemerintah jajahan Hindia Belanda. Kekuasaan absolut berada ditangan sejumlah kecil golongan elite, yang merupakan penguasa jajahan yang dominan, yang menuntut penyerahan absolut dari masyarakat jajahan demi kepentingan penguasa jajahan tersebut. Kepentingan penguasa jajahan tersebut adalah penguasaan atas sumber-sumber daya ekonomi dan alam serta pendistribusiannya.
Masyarakat majemuk pada umumnya mempunyai ciri yang menyolok dalam hal corak pemerintahannya, yaitu bercorak otoriter dan militeristik sebagaimana yang menjadi corak dari semua pemerintahan dimasyarakat jajahan. Coraknya yang otoriter dan militeristik ini juga terdapat dalam masyarakat-masyarakat majemuk yang bukan negara jajahan, sebelum dirombak oleh kekuatan reformasi, seperti Uni Soviet Rusia, Yugoslavia, Afrika Selatan, dan Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang otoriter dan militeristik ini terutama berbentuk kekejaman dan kekerasan terhadap rakyat atau warga masyarakatnya sendiri. Kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri tersebut dilakukan dalam upaya menguasai secara absolut sumber-sumber daya ekonomi dan alam oleh penguasa dan oknum-oknum serta kroni-kroninya.
Masalah yang pada umumnya dihadapi oleh sebuah masyarakat majemuk, seperti Indonesia, adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah pussat dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang tercakup dalam masyarakat tersebut. Masyarakat-masyarakat sukubangsa telah ada sebelum adanya masyarakat majemuk yang dikuasai oleh sistem nasional. Masyarakat-masyarakat tersebut hidup di dan dari sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan alam dan fisik yang merupakan hak adat atau ulayat mereka. Permasalahan ini muncul pada rezim yang berkuasa itu berusaha untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang ada dalam wilayah hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan menggunakan acuan hukum nasional yang menapikan hukum adat atau hak ulayat warga masyarakat setempat.
Pada waktu rezim penguasa tersebut masih berkuasa tidak ada satupun warga masyarakat tersebut yang berani menentangnya, dan tidak juga kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang di eksploitasi hak ulayatnya tersebut berani menghalanginya. Tetapi, begitu rezim otoriter tersebut jatuh maka berbagai bentuk perambahan terhadap perussahaan-perusahaan dari oknum-oknum pemerintah pusat dan kroni-kroninya bermunculan sebagai kerusuhan-kerusuhan sosial dan konflik antar sukubangsa bermunculan. Pendapat umum yang mengatakan bahwa kebangkitan mereka yang semula tertekan oleh rezim otoriter dan militeristik tidaklah dapat disangkal. Tetapi pendapat para pakar yang ditahun-tahun 1999-2001 yang bermunculan ditelevisi yang mengatakan bahwa konflik antar sukubangsa disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial ekonomi antara kelompok sukubangsa pendatang yang makmur hidupnya dan kelompok sukubangsa setempat yang hidupnya melarat tidaklah benar.
Dimassa lampau masyarakat-masyarakat sukubangsa hidup dengan berpedoman pada kebudayaan masing-masing yang berlaku didalam wilayah masyarakat sukubangsa sendiri. Anggota-anggota dari setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komuniti-komuniti sukubangsa yang pada dasarnya bercorak homogen dengan masing-massing jatidiri sukubangsa dan jatidiri budayanya dalam batas-batas wilayahnya sendiri. Dikampung halamannya sendiri, masyarakat-masyarakat sukubangsa setempat dengan kebudayaannya masing-masing adalah yang dominan sebagai pedoman bagi kehidupan sehari-hari sebagaimana terwujud dalam pranata-pranata sosial mereka masing-masing. Dimasa lampau hanya dikota-kota atau kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perkotaan terdapat masyarakat campuran dari berbagai kelompok sukubangsa. Sedangkan pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa telah menjadi masyarakat-masyarakat yang heterogen, dimana anggota-anggota dari berbagai sukubangsa hidup secara berdampingan dalam komuniti-komuniti pedesaan dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Karena itu, pada masa sekarang, hubungan antara sukubangsa telah menjadi lebih intensif dari pada dimasa lampau.
Hal ini dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah berkenaan dengan kesukubangsaan serta batas-batas sukubangsa dan perbedaan-perbedaan budaya ekonomi antara para pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti masyarakat setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan agresif. Akibatnya adalah bahwa kebudayaan dari masyarakat sukubangsa setempat yang semula adalah dominan menjadi ditantang dengan agresifitas para pendatang, yang tantangan tersebut dapat dilihat sebagai tantangan atas kebudayaan sukubansga setempat. Ini terutama terwujud melalui hubungan antar pendatang dengan masyarakat setempat yang terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Permasalahan yang paling kritikal adalah tingkat agresifitas ekonomi para pendatang dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya dengan cara tidak mengindahkan berbagai aturan yang berlaku setempat. Karena angota-angota masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan para pendatang tersebut dilihat sebagai melanggar aturan-aturan adat yang berlaku.
Aturan-aturan yang mengatur hubungan antara tuan rumah dengan tamunya tersirat dalam pepatah yang berlaku dalam kehidupan semua masyarakat sukubangsa di Indonesia yang berbunyi “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Artinya para pendatang yang hidup dalam komuniti sukubangsa setempat supaya menghormati dan menjunjung adat dan tradisi budaya yang berlaku setempat dengan cara mengikuti aturan-aturan adat dan tradisi-tradisi budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Pepatah ini digunakan oleh warga masyarakat setempat untuk memantapkan posisi mereka dalam menghadapi agresifitas ekonomi dari para pendatang dengan cara menekankan bahwa posisi mereka adalah tuan rumah yang berhak atas segala sesuatu dalam rumahnya sedangkan para pendatang hanya tamu yang harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam rumah tersebut. Dengan mengacu pada pepatah ini, secara halus dan tidak langsung, para pendatang diperingatkan untuk tidak mendominasi kehidupan mereka yang menjadi tuan rumah. Konflik-konflik antar sukubangsa yang telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai pelanggaran dari prinsip yang ada dalam pepatah tersebut.
A.   Latar belakang
     Konflik sampit adalah pecahnya kerusuhan antara dua etnis di Indonesia, konflik ini terjadi pada Februari 2001 dan terjadi sepanjang tahun itu. Perang sampit ini terjadi antara etnis Dayak sebagai penduduk lokal dan Madura sebagai pendatang. Kerusuhan sampit ini pecah pada 18 Februari 2001 dan sekitar 500 orang Madura tewas.10.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Suku Madura pertama tinggal di Kalimantan pada tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Sebenarnya dalam kasus ini terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Dimana pendatang disana menguasai perekonomian, perindustrian, perkayuan dan perindustrian. Suku Dayak kerap kali mengalah kepada suku pendatang. Mereka juga sangat terdesak di tanahnya sendiri. Hingga kampung mereka pun berkali-kali berpindah karena mengalah dari para penebang kayu(suku Madura) yang terus mendesak mereka masuk ke dalam hutan. Suku Dayak juga sering mendapatkan ketidakadilan dalam hukum bilamana suku Dayak yang menjadi korban.

    
B.   Awal mula kejadian
Kerusuhan yang terjadi di sampit hanyalah salah satu rangkaian peristiwa kerusuhan yang terjadi oleh suku Madura yang sejak berdirinya Kalimantan Tengah telah melakukan lebih dari 13 kali kerusuhan besar dan banyak sekali kerusuhan tersebut yang mengakibatkan korban dari pihak Dayak. Sangat banyak kasus-kasus yang telah memicu pertikaian antara kedua suku ini,yaitu :
1.      Pada tahun 1972, seorang gadis Dayak diperkosa. Kasus tersebut hanya diselesaikan dengan hukum adat.
2.      Tahun 1982 terjadi pembunuhan seorang Dayak oleh suku Madura, pelaku tidak tertangkap karena kemungkinan pembunuh kembali ke pulau Madura.
3.      Tahun 1983, pengeroyokan satu orang dayak oleh tiga puluh orang Madura, diadakan perdamaian antara kepala suku Dayak dan Madura.
4.      Tahun 1996, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan dibunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya ringan.
5.      Tahun 1997, di desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40,dengan skor orang Madura mati semua. Padahal orang Dayak pada saat itu hanya ingin mempertahankan diri dari orang Madura yang jumlahnya sangat banyak. Kasus ini ditutup dengan hukuman berat bagi orang Dayak.
6.      Tahun 1997, anak laki-laki suku Dayak yang bernama Waldi tewas dibunuh oleh orang Madura yang berjualan sate di daerah itu. Waldi tewas secara mengenaskan dengan lebih dari tiga puluh tusukan di badannya.
7.      Tahun 1998, terjadi lagi pengeroyokan orang Dayak oleh 4 orang Madura. Orang Dayak itu tewas. Kasus ini tidak terselesaikan karena pengeroyok tidak dapat ditemukan karena kemungkinan telah kembali ke asalnya.
8.      Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
9.      Tahun 1999, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
10.  Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
11.  Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
12.  Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
13.  Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
14.  Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
15.  Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
16.  Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

C.   Terjadinya perang
     Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum. Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura.  Orang Dayak merasa sangat tersudut ditanahnya sendiri. Mereka seolah tidak dilindungi dari pihak hukum. Sementara orang Madura semakin merasa diatas angin di kota Sampit. Seakan mereka tidak peduli akan perasaan warga lokal disana. Situsi semakin hari semakin panas. Orang Madura mempunyai keinginan untuk menjadikan kota Sampit sebagai kota Sampang ke-2. Mereka melupakan pepatah di tanah Borneo tersebut yaitu, ''dimana tanah dipijak,disitu langit dijunjung''. Pada tanggal 18 februari 2002 di sebuah pasar di kota Sampit,seorang ibu yang sedang hamil dibunuh dengan kejam. Perutnya dibelah dan janin dalam perut ibu tersebut dikeluarkan lalu dibuang. Darah dari seorang ibu dan janinnya tadi dijadikan tinta untuk menulis di sebuah spanduk besar yang bertuliskan, ''Sampit sebagai Sampang kedua''. Kejadian ini memang sepertinya telah direncanakan oleh pihak Madura.Mereka juga berkeliling kota Sampit sambil meneriakkan ''Matilah kau Dayak''.  Bom molotof pun berjatuhan di rumah-rumah orang Dayak. Tidak sedikit juga mereka membakar rumah orang Dayak. Orang Dayak menjadi takut dan mereka berlari masuk ke dalam hutan. Kepala suku mereka telah sangat murka dan memberi ultimatum kepada orang bahwa apabila dalam 3 hari mereka tidak keluar dari Sampit, maka Dayak akan memerangi warga Madura. Sudah sangat banyak pengungsi dari pihak Madura dan Dayak. Lebih dari 10.000 pengungsi telah diungsikan ke Surabaya dan ke Palangkaraya. Ultimatum tadipun tidak dihiraukan oleh warga Madura sehingga terjadilah perang etnis disana. Suku Dayak berhasil mengambil kembali rumahnya yang hampir diambil oleh suku lain.Banyak rumah yang terbakar, toko-toko milik kedua etnis tadi lenyap serta kurang lebih 500 korban tewas. Tidak ada yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam kata lain perang hanya meninggalkan tangis dan air mata, dan juga kenangan yang sangat menyakitkan.

Sumber:
http://kupasiana.psikologiup45.com/2013/05/perang-sampit_2.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar